Eknic


Angklung Pukau Masyarakat Perancis

Pertunjukkan musik angklung yang ditampilkan Daeng Udjo memukau masyarakat Perancis yang digelar di auditorium Noureev kota Sainte Genevieve des Bois, Perancis.
Setelah mengikuti angklung interaktif Daeng Udjo yang mengajarkan lagu `La Vie en Rose` dan `All My Loving` masyarakat Perancis pun piawai memain alat musik tradisional dari Jawa Barat tersebut, ujar Fungsi Pensosbud KBRI Paris, Gita Loka Murti dalam keterangannya kepada Antara London, Sabtu.

Dikatakannya usai mempersembahkan angklung interaktif, grup Daeng Udjo menghibur penonton dengan lagu-lagu bertema Natal dan lagu-lagu popular seperti Bohemian Rhapsody, Volare, dan Can`t Take My Eyes of You.

Pertunjukan di kota St. Genevieve des Bois dibuka wakil dari Conseil Municipale (Dewan Kota) M. Lebnnyo dan Dubes RI untuk Badan PBB Urusan Pendidikan dan Kebudayaan UNESCO, Tresna Dermawan Kunaefi.

Pada pidato sambutannya, M. Lebnnyo menyatakan kegembiraannya atas kehadiran tim kesenian dari Indonesia ke kota tersebut untuk pertama kalinya.
Lebnnyo mengharapkan di masa datang semakin banyak tim kesenian berpartisipasi pada berbagai even yang diselenggarakan oleh pemerintah kota.
Sedangkan Dubes RI untuk UNESCO pada sambutannya memperkenalkan budaya Indonesia secara umum serta kekhasan alat musik angklung yang ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda dunia.


Para penonton mendapat brosur mengenai angklung untuk menambah pengetahuan mereka akan alat musik tersebut.

Pertunjukan yang diadakan sebulan setelah ditetapkannya angklung sebagai warisan budaya tak benda dunia oleh UNESCO tersebut mendapat sambutan yang sangat baik dari masyarakat kota St Genevieve des Bois, ujar Gita Loka Murti.
Masyarakat yang pada umumnya awam terhadap alat musik tradisional Indonesia tersebut diberi kesempatan memainkan angklung oleh Daeng Udjo yang bertidak selaku konduktor orkestra angklung.

Penonton dibuat terpukau dengan ketangkasan para pemain angklung yang dapat memainkan beberapa buah angklung secara sekaligus dengan tempo yang sangat cepat.

Gedung UNESCO

Tim angklung Daeng Udjo juga tampil di gedung UNESCO di Paris pada kesempatan acara perpisahan Dubes RI UNESCO yang mengakhiri masa tugasnya pada akhir bulan Desember tahun ini.

Para penonton sebagian besar terdiri dari delegasi permanen Negara-negara anggota UNESCO kagum dengan kemampuan musisi membawakan lagu modern dan populer dengan alat musik tradisional, terlebih mereka mendapat kesempatan memainkan alat musik tersebut.
Sambil menikmati cocktail hidangan kue-kue tradisional khas Indonesia, penonton diajarkan memainkan alat musik angklung sekaligus mengenali nama-nama dan letak pulau-pulau besar di Indonesia di layar besar yang digelar di depan panggung.

Daeng Udjo menyatakan bahwa niatnya memberi nama di angklung-angklungnya sesuai dengan nama-nama pulau besar di Indonesia agar publik yang diajarkan memainkan angklung dapat mengenal Indonesia dan mengetahui lokasi dan letak seluruh pulau selain Bali.

“Pada kenyataannya banyak masyarakat di luar negeri yang tidak tahu di mana Indonesia, mereka hanya tahu Bali, dan itu adalah fakta,” tuturnya.
Untuk itu Daeng Udjo berupaya mendorong rasa keingintahuan para penonton yang lebih dalam terhadap Indonesia, khususnya budaya Indonesia.

Hal tersebut dibuktikan Daeng Udjo dalam setiap pertunjukannya di Perancis, menghimbau penonton untuk datang ke Indonesia apabila ingin memainkan dan belajar angklung lagi.

Wakil Gubernur Jawa Barat, Dede Yusuf menyampaikan apresiasinya terhadap upaya yang dilakukan Kantor Perwakilan RI (KWRI) UNESCO untuk memasukkan angklung sebagai warisan budaya tak benda dunia menyusul pendahulunya keris, wayang dan batik Indonesia.

Diharapkannya dengan dimasukkan angklung ke dalam daftar tersebut, pengembangan dan pelestarian angklung sebagai alat musik tradisional Indonesia semakin terjamin serta masyarakat internasional dapat mengenal warisan budaya bangsa tersebut. Pada kesempatan ini, Wagub Jabar yang bertindak sebagai ketua rombongan misi kesenian dari Jawa Barat tersebut menyampaikan cendramata berupa replika satu set angklung kepada UNESCO yang diwakili Deputi Direktur Jenderal UNESCO, Mr. Engida dan baju batik kepada Dubes RI UNESCO.

Acara malam tersebut diakhiri dengan poco-poco yang melibatkan seluruh hadirin dengan diiringi oleh alunan musik angklung dengan lagu `keong racun`. UNESCO sendiri mengukuhkan angklung dalam daftar representatif budaya tak benda warisan manusia pada tanggal 16 November lalu pada sidang ke-5 intergovernmental committee on intangible cultural heritage (IGC- ICH) di Nairobi, Kenya, demikian Gita Loka Murti.  (selokarto.blogspot.com)

Gamelan


Gamelan adalah ensembel musik yang biasanya menonjolkan metalofon, gambang, gendang, dan gong. Orkes gamelan kebanyakan terdapat di pulau Jawa, Madura, Bali, dan Lombok di Indonesia dalam berbagai jenis ukuran dan bentuk ensembel. Di Bali dan Lombok saat ini, dan di Jawa lewat abad ke-18, istilah gong lebih dianggap sinonim dengan gamelan.

Penalaan dan pembuatan orkes gamelan adalah suatu proses yang kompleks. Gamelan menggunakan empat cara penalaan, yaitu sléndro, pélog, “Degung” (khusus daerah Sunda, atau Jawa Barat), dan “madenda” (juga dikenal sebagai diatonis, sama seperti skala minor asli yang banyak dipakai di Eropa.

Gamelan jelas bukan musik yang asing. Popularitasnya telah merambah berbagai benua dan telah memunculkan paduan musik baru jazz-gamelan, melahirkan institusi sebagai ruang belajar dan ekspresi musik gamelan, hingga menghasilkan pemusik gamelan ternama.

Pandangan hidup Jawa yang diungkapkan dalam musik gamelannya adalah keselarasan kehidupan jasmani dan rohani, keselarasan dalam berbicara dan bertindak sehingga tidak memunculkan ekspresi yang meledak-ledak serta mewujudkan toleransi antar sesama. Wujud nyata dalam musiknya adalah tarikan tali rebab yang sedang, paduan seimbang bunyi kenong, saron kendang dan gambang serta suara gong pada setiap penutup irama.

Tidak ada kejelasan tentang sejarah munculnya gamelan. Perkembangan musik gamelan diperkirakan sejak kemunculan kentongan, rebab, tepukan ke mulut, gesekan pada tali atau bambu tipis hingga dikenalnya alat musik dari logam. Perkembangan selanjutnya setelah dinamai gamelan, musik ini dipakai untuk mengiringi pagelaran wayang, dan tarian. Barulah pada beberapa waktu sesudahnya berdiri sebagai musik sendiri dan dilengkapi dengan suara para sinden.

Seperangkat gamelan terdiri dari beberapa alat musik, diantaranya satu set alat musik serupa drum yang disebut kendang, rebab dan celempung, gambang, gong dan seruling bambu. Komponen utama yang menyusun alat-alat musik gamelan adalah bambu, logam, dan kayu. Masing-masing alat memiliki fungsi tersendiri dalam pagelaran musik gamelan, misalnya gong berperan menutup sebuah irama musik yang panjang dan memberi keseimbangan setelah sebelumnya musik dihiasi oleh irama gending.

Gamelan Jawa adalah musik dengan nada pentatonis. Satu permainan gamelan komplit terdiri dari dua putaran, yaitu slendro dan pelog. Slendro memiliki 5 nada per oktaf, yaitu 1 2 3 5 6 [C- D E+ G A] dengan perbedaan interval kecil. Pelog memiliki 7 nada per oktaf, yaitu 1 2 3 4 5 6 7 [C+ D E- F# G# A B] dengan perbedaan interval yang besar. Komposisi musik gamelan diciptakan dengan beberapa aturan, yaitu terdiri dari beberapa putaran dan pathet, dibatasi oleh satu gongan serta melodinya diciptakan dalam unit yang terdiri dari 4 nada.

Anda bisa melihat gamelan sebagai sebuah pertunjukan musik tersendiri maupun sebagai pengiring tarian atau seni pertunjukan seperti wayang kulit dan ketoprak. Sebagai sebuah pertunjukan tersendiri, musik gamelan biasanya dipadukan dengan suara para penyanyi Jawa (penyanyi pria disebut wiraswara dan penyanyi wanita disebut waranggana). Pertunjukan musik gamelan yang digelar kini bisa merupakan gamelan klasik ataupun kontemporer. Salah satu bentuk gamelan kontemporer adalah jazz-gamelan yang merupakan paduan paduan musik bernada pentatonis dan diatonis.

sumber : ayundafirsty.blogspot.com

Reog Kendang, Keunikan Tulungagung

Kesenian reog kendang sampai sekarang berkembang di hampir setiap desa di Tulungagung. Apalagi, pemerintah kabupaten setempat menjadikan reog kendang sebagai ikon sekaligus kebanggaan Tulungagung. Reog kendang menghasilkan irama tetabuhan perkusi gembluk (kendang) yang bertalu-talu dan terkadang diselingi suara sompret (terompet). Reog semakin atraktif ditingkahi tari-tarian.

Tarian itu dimainkan 6, 12, atau 18 orang. Tari reog kendang terkesan sederhana dan tidak rumit, tetapi tetap menebarkan nuansa keindahan sekaligus estetika koreografi yang khas kesenian tradisi dan etnik sebagaimana tarian khas suku Dayak di Kalimantan.
“Sekarang terdapat tidak kurang 300 kelompok kesenian reog kendang. Setiap kelompok beranggotakan lebih kurang 45 orang,” kata Pembina Komunitas Reog Kendang Batara Agung Saguru Tulungagung Didik Handoko, beberapa waktu silam.

Ia menambahkan, komunitas Batara Agung Saguru adalah wadah seniman tari reog dan jaranan se-Kabupaten Tulungagung. Mereka tampil di sejumlah negara. Pada Oktober nanti komunitas ini tampil dalam perhelatan seni budaya “Cross Culture” di Surabaya.

Legenda
Sejarah reog kendang khas daerah penghasil marmer ini tidak lepas dari legenda yang mengisahkan kehendak Raja Bugis untuk memboyong putri cantik dari Kediri. Sang putri cantik itu tidak lain adalah kedi (banci/waria). Sang putri pun memberikan syarat-syarat yang harus dipenuhi jika utusan Raja Bugis itu hendak memboyong dirinya ke kerajaan. Syarat- syarat itu antara lain berupa mata ayam tukung, dendeng tengu, madu lanceng, dan seruling batang padi.

“Dari syarat-syarat yang diminta sang puri, terciptalah gembluk (kendang), sompret, gongseng, iker-iker, kenong, dan gong yang menjadi kesenian tradisi reog kendang,” kata sesepuh seniman reog kendang, Suryamiadi.

Alkisah, setelah semua persyaratan yang diminta sang putri terpenuhi, prajurit asal kerajaan Bugis menyerahkannya dengan tata laku gerak yang akhirnya terciptalah gerak mentokan, gerak tekesan, gerak liling-lilingan, joget tole-tolean, joget nguak sumur, dan gerak kejang.

Suryamiadi mengungkapkan, kesenian reog kendang dalam perkembangannya sering kali mengusung tembang-tembang khas Tulungagung, seperti tembang “Kuto Rowo/Kota Tulungagung”, “Waduk Wonorejo”, “Tulungagung Berseri”, dan “Turi-Turi Putih”. “Biasanya tembang yang kami bawakan adalah “Kuto Rowo”, yang mengisahkan kota Tulungagung yang berasal dari rawa-rawa,” katanya.

sumber : wekawekax4.blogspot.com & dari berbagai sumber

Wukir Suryadi – Pertunjukan Musik

Wukir Suryadi, arek Malang, kelahiran, 27 Desember 197 7 mengawali kiprah berkesenian melalui panggung teater, sebelum akhirnya meleburkan diri ke dalam panggung musik, khususnya musik etnik- kontemporer.

Lelaki kelahiran Malang ini menciptakan alat-alat musiknya secara otodidak. Bambu Wukir sebagai gabungan string dan perkusi. Sebenarnya alat ini merupakan modifikasi instrumen tradisional :Celempung, Sasando, Sittar dan Lakado. Alat-alat tersebut kemudian dikolaborasikan dan berbentuk bambu yang ujungnya runcing di bagian kepala badan instrumen. Alat ini dimainkan dengan cara digesek, dipetik. Alat ini menghasilkan suara dengan karakter baru dan terdengar layaknya Synthesizer yang sudah dimainkan pada band-band post rock di Eropa.

Tak hanya menciptakan alat musik namun ia juga membuat komposisi lagu baik secara improvisasi maupun tertulis. Dengan alat musik dan komposisinya ia sudah malang melintang di berbagai pertunjukan baik musik maupun teater di Jawa, Bali dan Sulawesi. Bahkan di Prancis ia sempat berkolaborasi dengan musisi Prancis serta mengerjakan satu album di Belanda. Meskipun ia tetap jauh dari hiruk pikuk dunia musik dan lebih dikenal di kalangan musik jalanan kontemporer yang seringkali dikaitkan dengan hal bersifat tradisional.

Itulah Wukir Suryadi seorang musisi yang gelisah untuk berkarya. Meskipun Bambu Wukir sudah mampu mencuri perhatian tak hanya di Indonesia bahkan di manca negara ia tak ingin berhenti begitu saja. Kedepan ia masih terus mencari penyempurnaan instrumen tersebut hingga mampu menghasilkan bunyi yang lebih menarik lagi. Seperti prinsip yang ia pegang bambu wukir hanya sebagai terminal sebelum melakukan langkah lebih jauh dan yang lebih penting bambu wukir menjadi terminal dari kegelisahan tanpa batas tentang hidup dan kehidupan itu sendiri.

“Sawang sinawang”

Setiap masyarakat menciptakan dan mengembangkan kebudayaan sebagai sinar yang memandu kehidupan, sesuai dengan lingkungan sosial dan fisik di wilayahnya. Dalam perjalanan waktu, generasi baru muncul dan dibentuk oleh kebudayaan itu agar mewarisi dan mengembangkan sinar kehidupan itu menjadi lebih terang. Meski demikian tidak jarang generasi baru menghadapi tantangan, hambatan dan bahkan tekanan. Sehingga kurang berhasil mengembangkannya. Salah satu hambatan yang paling kuat adalah adanya kebudayaan lain yang tidak toleran dan bahkan melakukan penjajahan budaya. Akibatnya generasi baru tidak hanya gagal mengembangkan tetapi juga mengambil sinar kebudayaan lain untuk memandu kehidupannya.

Upaya menemukan kembali warisan masa lampau yang masih sesuai dengan peri kehidupan masa kini, tentu tidak akan semudah orang Eropa me- renaissance keeropaannya .

Meski sulit dan harus menempuh jarak yang sangat jauh, perjalanan pencarian dan penggalian tentang warisan masa lampau tampaknya harus dilakukan. Kendati  harus bermandi keringat dan berkubang lumpur. Salah satu warisannya ialah pepatah “SAWANG SINAWANG”.  Pepatah jawa ini sengaja saya ambil sebagai judul dalam Pertunjukan Musik kami di Festival Seni Surabaya 2010 yang mengambil tema Surabaya Experience , karena bagi saya memiliki makna yang sangat dalam.

‘SAWANG’ adalah memandang, menyimak atau memperhatikan. Di sisi lain, SINAWANG dapat diartikan sebagai dipandang, disimak atau diperhatikan.

Aktivitas memandang bukan semata-mata dilakukan oleh panca indera mata. Memandang melibatkan seluruh kemampuan aspek kemanusiaan subyek. Melihat dan mendengar.  Akal maupun budi. Melalui proses memandang, subyek mengolah informasi yang diterima melalui mata dengan jalan membandingkan terhadap pengalamannya sebagai individu maupun pengetahuan yang dimilikinya dari berbagai pihak. Dengan kata lain, dalam aktivitas memandang terdapat dialog antara masa lampau (pengalaman dan pengetahuan) dengan masa kini (obyek pandangan). Dialog masa lampau dengan masa kini dalam proses sawang melahirkan dua macam pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang obyek dan pengetahuan tentang subyek. Pengetahuan tentang obyek berupa gambaran detail kondisi yang tampak kasat mata, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Selain pengetahuan tentang obyek, proses sawang juga melahirkan pemahaman tentang diri sendiri sebagai subyek. Pemahaman terutama berupa kesadaran baru dalam diri subyek tentang posisinya saat itu. Ketika melakukan proses sawang, subyek memperhitungkan ikatan atau relasinya dengan obyek. Apabila obyek merupakan bagian dari subyek.

Dalam pertunjukan musik “Sawang Sinawang” ini , selain akan dihadirkan sebuah instumen modifikasi dari tradisional yang berwujud instrumens, “Bambu Wukir”, juga akan dihadirkan pula beberapa individu yang memiliki latar belakang musik yang berbeda. Instrumens “Bambu Wukir” yang juga sedianya akan di kolaborasikan dengan Suluk Malangan.

sumber : festivalsenisurabaya.com

“Gondrong” Gunarto – Pertunjukan Musik

“Gondrong” Gunarto lahir di Ngawi, Jawa Timur pada 20 Agustus 1974, dia menemukan kecintaannya terhadap musik kontemporer tepatnya tahun 1993 semenjak aktif membantu karya-karya musik untuk tugas akhir jurusan tari ISI (Institut Seni Indonesia) Surakarta. ”Gondrong” sapaan akrab Gunarto adalah seorang musisi serta komposer yang lahir dan di besarkan dalam keluarga yang mempunyai latar belakang seni tradisional, sebab dia putera seorang dalang dan juga pelatih karawitan. Dia menyelesaikan pendidikan formal karawitan di Konser Vatori Surakarta sebelum akhirnya melanjutkan study-nya di Institut Seni Indonesia Surakarta.

Semenjak saat itu, karena kemauan dan keingintahuan-nya yang besar, dia banyak belajar berbagai macam aliran musik di luar musik tradisional Jawa (seperti kombo band, keroncong, cross culture music, dsb) sehingga pengalaman tersebut membawa dia ke dalam sebuah penciptaan musik baru. Inilah masa-masa yang penuh dengan pengembaraan musikal, dimana ia banyak belajar berbagai macam bentuk dan aliran musik. Juga sebuah masa dimana ia harus menentukan pilihan, sebuah pilihan yang berujung pada pada satu kecintaan : musik kontemporer-eksperimental! Suatu musik yang sunyi dari hiruk pikuk penggemar, juga pertunjukan. Sejauh ini “Gondrong” telah banyak tampil baik di Indonesia maupun di Luar Negeri seperti Jerman, Jepang, Belanda, Australia dan Spanyol. Saat ini dia juga tergabung dalam kelompok Sono Seni Ensembel sebagai musisi sekaligus komposer.

Gondrong telah membuat CD album musik THE WORKS dan VCD konser tunggalnya PANCAL MUBAL TANGAN NGAPAL. Dengan Sono Seni Ensembel mengeluarkan empat album yaitu SUITA SUIT, SUITA 42 HARI, AUTIS 4 J dan yang terakhir NO END IN SIGHT. Pada November 2007, 13 karyanya direkam oleh Rahayu Supanggah untuk ilustrasi film Taiwan THE TOUR TO PARADISE sutradara Andy Lee.

Repertoar yang dimainkan:

Dukkha (1997)
Lahir – hidup – mati, adalah waktu yang melesak: singkat, dan pendek. Dalam sejengkal waktu itu, kita harus menentukan, betapapun sulit pilihannya. Perjalanan hidup Girirakkhito Mahathera-seorang Hindustan yang akhirnya menjadi seorang Bikku-adalah pengembaraan, juga kepastian sebuah keyakinan

Musirawas Prostitusi (2003)
Satu kisah dramatis-saat terdampar di daerah ”gelap” Musirawas, Sumatera-adalah sebuah ”drama musikal” yang getir, namun nyaman untuk dikenang. Ialah paradoks pengembaraan antara keresahan dan hasrat untuk menggapai arti dan makna kebahagiaan.

Klenangan (2010)
Klenangan merupakan salah satu vokabuler garap tabuhan yang terdapat dalam instrumen bonang, dalam gamelan Jawa, baik gamelan ageng maupun gamelan pakurmatan. Pola klenangan dimainkan oleh dua orang, dengan teknik tabuhan imbal atau bergantian. Konsep imbal-bergantian merupakan ide dasar penciptaan dalam komposisi “Klenangan”.

sumber : festivalsenisurabaya.com

POJIAN

Timbulnya seni pertunjukan ini berangkat dari sebuah tragedi yang telah lama  ada di kabupaten Bondowoso, dan disebut “Pojian” yang memiliki arti memuji dengan ucapan-ucapan yang saling bersaut-sautan dalam satu rangkaian do’a.

pojian2

Sebuah cerita yang mengisahkan tentang kejadian-kejadian alam yang merisaukan masyarakat Bondowoso, seperti halnya dilanda wabah penyakit, hama tanaman, dan dilanda kekeringan/ tidak ada hujan. Maka dari gejala itu masyarakat Bondowoso mengadakan do’a bersama bernama “Pojian” atau “Memuji” dengan kata lain “Musik Mulut”, dengan maksud untuk menolak bala’ mengusir wabah penyakit, mendatangkan hujan dan juga menghalau binatang buas.

pojiann

sumber : festivalsenisurabaya.com

Tinggalkan komentar

Liked it here?
Why not try sites on the blogroll...